Bermain
Teater Bermain Simbol
(analisis
teater Nabeuh karya Dede Muchlis, S.E
yang dipentaskan oleh SMA Bakti Taruna, Bogor)
Awalnya dalam pengertian sempitnya teater berasa dari Yunani, yaitu teatron yang berarti tempat yang luas, yang mampu menampung sekitar 100.00
orang yang dijadikan lokasi untuk melangsungkan upacara ritual.
Kemudian ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa teater merupakan sebuah peristiwa yang mempertemukan tiga kekuatan, yaitu: pekerja tontonan,
tempat tontonan dan penonton. Untuk pengertian luasnya teater
merupakan segala bentuk dan jenis tontonan, baik di ruangan
tertutup maupun terbuka.
Teater adalah sebuah media sastra
yang dengan bentuk pementasan dengan perekaman kejadian yang ada dalam
kehidupan. Maka sama sama dengan cerpen atau novel yang mengangkat hal-hal
kemanusiaan, teater juga mengeksplorasi hal tersebut seperti watak manusia, problema manusia, dan cara-cara manusia
mengatasi problema itu.
Seperti
yang telah diketahui, bahwa teater berbeda dengan media sastra lainnya. Seperti
halnya novel, cerpen, dan puisi yang bermediakan tulisan tetapi teater dengan
cara menampilkan pertunjukan. Walaupun pada mulanya ditulis sebagai sebuah naskah
tetapi hal itu belum dapat dikatakan sebagai teater jika belum dipentaskan. Ditunjang
oleh make-up, lighting, sound,
properti, akting, kostum, dan lain-lain.
Menurut
saya setiap teater mempunyai makna sendiri yang ingin disampaikannya. Entah
makna itu disampaikan secara langsung ataupun tidak. Disampaiakan secara
langsung, yakni penonton dapat dengan mudah menangkap amanat yang ingin
disampaiakan oleh teater yang bersangkutan. Sementara penyampaian tidak
langsung, yakni simbol-simbol yang dihadirkan dijadikan sebgai sebuah pesan
yang harus benar-benar “dibaca”. Untuk mengerti simbol yang dimaksudkan
diperlukan keahlian khusus menghubungkannya dengan naskah serta isi keseluruhan
cerita.
Tanggal
07-09 Mei 2012, Gelanggang (himpunan mahasiswa Sastra Indonesia Unpad)
mengadakan acara tahunan, Maydrasia. Acara itu berlangsung selama tiga hari
bertempat di PSBJ dengan menyelenggarakan beberapa acara. Beberapa acara yang
diselenggarakan yaitu perlombaan teater bagi kalangan SMA se-Jawa Barat. Salah
satu teater yang mengikuti perlombaan itu adalah teater dari SMA Bakti Taruna,
Bogor yang berjudul “Nabeuh” karya Dede Muchlis, S.E. Untuk itu, karena
ketertarikan saya pada penampilan teater ini,baik dari segi penampilan maupun
isi cerita, saya mengambil teater “Nabeuh”
ini untuk dianalisis. Dalam hal ini saya memfokuskan untuk menganalisis
simbol-simbol yang digunakan dalam penampilannya.
Teater
ini diperankan oleh Jalu sebagai peran utama, Ibu Jalu, teman-teman Jalu, Abah
Winata, Ciwa, Nenden Mr. Rambut Jagung dan Pak Wahid. Cerita ini mengisahkan
kegagalan panen yang terjadi di sebuah desa. Kegagalan panen yang terjadi di
desa itu menyebabkan banyaknya masyarakat yang kelaparan. Namun begitu,
sekalipun gagal panen terjadi pesta panen yang rutin diadakan setiap tahunnya
tetap dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Jalu,
seorang pemuda desa yang sawahnya mengalami gagal panen dan kemudian ditinggal
pula oleh ibunya yang menjadi TKI ke luar negeri. Jalu merupakan salah seorang
pemuda desa yang menggunakan sistem pertanian tradisional, dengan kerbau,
bajak, masih pula adanya pesta panen dengan memberikan sesajen serta
ketradisionalan lainnya. Sementara ada pula si Mr. Rambut Jagung yang melakukan
pertanian dengan sistem modern. Pertanian yang dijalankan dengan sistem
tradisional oleh masyarakat desa sering mengalami gagal, sedangkan pertanian
yang dikelola oleh Mr. Rambut Jagung selalu berhasil dengan sistem pertanian
modern yang dilakukannya.
Konflik
terjadi ketika hama-hama merusak sawah dan hasil panen sehingga banyak warga
yang mengalami gagal panen tahun itu. Puncak konflik terjadinya ketika Mr.
Rambut Jagung datang dan membanggakan panen yang dilakukan dengan sistem
modern. Percakapan mengenai pertentangan pengelolaan petani tradisional dengan
petani modern merupakan konflik dari cerita. Walaupun hasil dari pertanian
modern jauh lebih unggul dan tidak mengalami kegagalan, sistem pertanian
tradisional lebih banyak mempunyai keuntungan di luar itu semua, seperti terciptanya
gotong royong dan saling berbagi yang merupakan ciri adat tradisional.
Untuk
penceritaan sendiri, baik dalam hal konflik maupun amanat yang diberikan teater
ini menggunakan simbol dengan dua dimensi yang merupakan jalannya konflik.
Simbol-simbol yang ditampilkan seperti perrempuan yang berdiri di di depan
gong, pemukulan gong, orang dan semangka yang berada dalam kurungan ayam
(seolah-olah perempua itu tidak
terlihat), terbukanya kurungan ayam yang di dalamnya terdapat semangka dan
orang dan cangkul.
Sebagai
penonton saya tertarik dengan simbol-simbol yang dihadirkan walaupun saya tidak
memahami betul arti dari simbol-simbol yang dihadirkan itu. Dengan merujuk pada
makna benda serta cerita yang disampaikan sedikit membantu untuk menafsirkan
simbol yang dihadirkan.
Nabeuh
yang dalam bahasa Sunda berarti memukul, menghadirkan sebuah gong untuk dipukul
pada saat-saat tertentu. Jika merujuk pada pengertian gong itu sendiri, gong
merupakan alat yang dipukul sebagai tanda pembukaan pada acara. Namun jika melihat
ke dalam teks teater, pemukulan gong yang dilakukan pada saat tertentu itu
dimaksudkan sebagai pembukaan acara dan untuk memulai acara ke acara
selanjutnya. Contohnya pada pembukaan, seorang perempuan yang berdiri di depan
gong kemudian datang seorang pria bertubuh kekar dan gelap yang kemudian mereka
menari-nari dan diakhiri dengan memukul gong. Memukul gong itu sebagai
pembukaan acara dan juga untuk memulai pada cerita selanjutnya. Kemudian Ibu
Jalu yang datang dengan lagi-lagi memukul gong merupakan pembukaan pada cerita
yang akan dikisahkan lalu diakhiri pula dengan memukul gong untuk memasuki
cerita selanjutnya.
Perempuan
pada awal cerita yang berdiri di depan gong bisa saja disimbolkan sebagai dewi
padi. Saya mengambil kesimpulan seperti ini karena kembali laki melihat isi
cerita yang disampaikan. Cerita yang disampaikan adalah sebuah kegagalan panen.
Dan juga pada cerita terdapat monolog yang kurang lebih berbunyi “gagal panen lagi, apa masih kurang sesajen
yang kita berikan?”. Melihat isi cerita juga monolog yang diucapkan salah
seorang pemain membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa perempuan yang berdiri
di depan gong pada mula cerita adalah dewi pada.
Pesan
dari penggunaan sistem pertanian tradisional yang dilakukan ada adanya gotong
royong dan saling berbagi sebagai ciri adat tradisional. Garis bawahi “adat
tradisional”. Adat tradisional yang dilakukan masih sangat kental sehingga
orang yang berada dalam kurungan ayam tersebut merupakan simbol dari masih
terkungkunya adat-adat yang ada di masyarakat itu. Pengembangan pertanian masih
terpaku pada pemberian sesajen kepada dewa dewi serta pertanian dengan sistem
tradisional. Sementara semangka sendiri merupakan simbol dari hasil pertanian
yang belum jadi, masih dalam proses yang belum bisa diambil hasilnya.
Lihat
pula pada perdebatan percakapan antara Jalu dan Mr. Rambut Jagung yang saling
membanggakan sistem pertanian masing-masing. Jalu dengan sistem tradisionalnya
sementara Mr. Rambut Jagung dengan sistem pertanian modernnya. Di tengah-tengah
perdebatan itu, orang yang berada dalam kurungan ayam ikut bicara (bicara yang
seolah-olah suara dari hasil pertanian) mengenai selalu gagalnya sistem
pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat desa. Suara itu lebih terdengar
sebagai bentuk protes yang diutarakan karena kegagalan yang berkali-kali
terjadi pada sistem tradisional yang diterapkan. Jika Jalu membanggakan sistem
yang dilakukannya bersama masyarakat desa yang lainnya, suara itu dengan cepat
menimpali dan menyanggah setiap pernyataan yang diutarakan Jalu.
Kebalikan
dari di atas, terbukanya kurungan ayam pada cerita selanjutnya merupakan simbol
dari hasil pertanian yang sudah bisa dituai. Sayangnya, hasil pertanian yang
selama ini ditunggu-tunggu malah tidak memuaskan. Banyak petani yang gagal
panen, sehingga hasil pertanian bagus yang dapat diambil hanya sedikit,
berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat yang ada. Semangka yang dipecahkan
dan dimakan beramai-ramai adalah penggambaran kelaparan yang terjadi akibat
gagal panen tersebut.
Simbol
terakhir, yaitu cangkul. Cangkul merupakan alat yang akrab digunakan petani
untuk mencangkul tanah. Kemudian dari setiap cangkulan itu akan ditanam
berbagai macam sayuran, buahan, padi dan lainnya. Dan setiap yang ditanam di
tanah cangkul itupun terselip harapan. Sebuah cangkul merupakan pengharapan
dalam hidup petani. Merupakan ketergantungan petani dalam hidupnya. Sekalipun
gagal, petani-petani tidak pernah putus asa untuk tetap mencoba lagi. Dapat
dilihat pula pada akhir teater salah seorang pemain mengangkat cangkul sambil
berkata “sebuah mata cangkul memberikan
pengharapan dalam hidupku.”
Mata
cangkul yang merupakan tonggak kehidupan para petani di desa dengan tidak
pernah berhenti untuk terus mencoba kembali sekaligus merupakan kesimpulan dari
teater Nebeuh itu.
Maka
sekianlah analisis saya mengenai simbol-simbol yang ada pada teater Nabeuh karya Dede Muchlis, S.E di atas.




0 komentar:
Posting Komentar