coba klik deh :)

Bisnis pulsa murah nih

cari-cari bisnis pulsa murah, eh nemu ini, buka deh. pelajari n daftar segera :) Pulsa Murah

Jumat, 18 Mei 2012


Bermain Teater Bermain Simbol
(analisis teater Nabeuh karya Dede Muchlis, S.E yang dipentaskan oleh SMA Bakti Taruna, Bogor)


            Awalnya dalam pengertian sempitnya teater berasa dari Yunani, yaitu teatron yang berarti tempat yang luas, yang mampu menampung sekitar 100.00 orang yang dijadikan lokasi untuk melangsungkan upacara ritual. Kemudian ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa teater merupakan sebuah peristiwa yang mempertemukan tiga kekuatan, yaitu: pekerja tontonan, tempat tontonan dan penonton. Untuk pengertian luasnya teater merupakan  segala bentuk dan jenis tontonan, baik di ruangan tertutup maupun terbuka.
            Teater adalah sebuah media sastra yang dengan bentuk pementasan dengan perekaman kejadian yang ada dalam kehidupan. Maka sama sama dengan cerpen atau novel yang mengangkat hal-hal kemanusiaan, teater juga mengeksplorasi hal tersebut seperti watak manusia, problema manusia, dan cara-cara manusia mengatasi problema itu.
Seperti yang telah diketahui, bahwa teater berbeda dengan media sastra lainnya. Seperti halnya novel, cerpen, dan puisi yang bermediakan tulisan tetapi teater dengan cara menampilkan pertunjukan. Walaupun pada mulanya ditulis sebagai sebuah naskah tetapi hal itu belum dapat dikatakan sebagai teater jika belum dipentaskan. Ditunjang oleh make-up, lighting, sound, properti, akting, kostum, dan lain-lain.
Menurut saya setiap teater mempunyai makna sendiri yang ingin disampaikannya. Entah makna itu disampaikan secara langsung ataupun tidak. Disampaiakan secara langsung, yakni penonton dapat dengan mudah menangkap amanat yang ingin disampaiakan oleh teater yang bersangkutan. Sementara penyampaian tidak langsung, yakni simbol-simbol yang dihadirkan dijadikan sebgai sebuah pesan yang harus benar-benar “dibaca”. Untuk mengerti simbol yang dimaksudkan diperlukan keahlian khusus menghubungkannya dengan naskah serta isi keseluruhan cerita.
Tanggal 07-09 Mei 2012, Gelanggang (himpunan mahasiswa Sastra Indonesia Unpad) mengadakan acara tahunan, Maydrasia. Acara itu berlangsung selama tiga hari bertempat di PSBJ dengan menyelenggarakan beberapa acara. Beberapa acara yang diselenggarakan yaitu perlombaan teater bagi kalangan SMA se-Jawa Barat. Salah satu teater yang mengikuti perlombaan itu adalah teater dari SMA Bakti Taruna, Bogor yang berjudul “Nabeuh” karya Dede Muchlis, S.E. Untuk itu, karena ketertarikan saya pada penampilan teater ini,baik dari segi penampilan maupun isi cerita, saya mengambil teater “Nabeuh” ini untuk dianalisis. Dalam hal ini saya memfokuskan untuk menganalisis simbol-simbol yang digunakan dalam penampilannya.
Teater ini diperankan oleh Jalu sebagai peran utama, Ibu Jalu, teman-teman Jalu, Abah Winata, Ciwa, Nenden Mr. Rambut Jagung dan Pak Wahid. Cerita ini mengisahkan kegagalan panen yang terjadi di sebuah desa. Kegagalan panen yang terjadi di desa itu menyebabkan banyaknya masyarakat yang kelaparan. Namun begitu, sekalipun gagal panen terjadi pesta panen yang rutin diadakan setiap tahunnya tetap dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Jalu, seorang pemuda desa yang sawahnya mengalami gagal panen dan kemudian ditinggal pula oleh ibunya yang menjadi TKI ke luar negeri. Jalu merupakan salah seorang pemuda desa yang menggunakan sistem pertanian tradisional, dengan kerbau, bajak, masih pula adanya pesta panen dengan memberikan sesajen serta ketradisionalan lainnya. Sementara ada pula si Mr. Rambut Jagung yang melakukan pertanian dengan sistem modern. Pertanian yang dijalankan dengan sistem tradisional oleh masyarakat desa sering mengalami gagal, sedangkan pertanian yang dikelola oleh Mr. Rambut Jagung selalu berhasil dengan sistem pertanian modern yang dilakukannya.
Konflik terjadi ketika hama-hama merusak sawah dan hasil panen sehingga banyak warga yang mengalami gagal panen tahun itu. Puncak konflik terjadinya ketika Mr. Rambut Jagung datang dan membanggakan panen yang dilakukan dengan sistem modern. Percakapan mengenai pertentangan pengelolaan petani tradisional dengan petani modern merupakan konflik dari cerita. Walaupun hasil dari pertanian modern jauh lebih unggul dan tidak mengalami kegagalan, sistem pertanian tradisional lebih banyak mempunyai keuntungan di luar itu semua, seperti terciptanya gotong royong dan saling berbagi yang merupakan ciri adat tradisional.
Untuk penceritaan sendiri, baik dalam hal konflik maupun amanat yang diberikan teater ini menggunakan simbol dengan dua dimensi yang merupakan jalannya konflik. Simbol-simbol yang ditampilkan seperti perrempuan yang berdiri di di depan gong, pemukulan gong, orang dan semangka yang berada dalam kurungan ayam (seolah-olah perempua  itu tidak terlihat), terbukanya kurungan ayam yang di dalamnya terdapat semangka dan orang dan cangkul.
Sebagai penonton saya tertarik dengan simbol-simbol yang dihadirkan walaupun saya tidak memahami betul arti dari simbol-simbol yang dihadirkan itu. Dengan merujuk pada makna benda serta cerita yang disampaikan sedikit membantu untuk menafsirkan simbol yang dihadirkan.
Nabeuh yang dalam bahasa Sunda berarti memukul, menghadirkan sebuah gong untuk dipukul pada saat-saat tertentu. Jika merujuk pada pengertian gong itu sendiri, gong merupakan alat yang dipukul sebagai tanda pembukaan pada acara. Namun jika melihat ke dalam teks teater, pemukulan gong yang dilakukan pada saat tertentu itu dimaksudkan sebagai pembukaan acara dan untuk memulai acara ke acara selanjutnya. Contohnya pada pembukaan, seorang perempuan yang berdiri di depan gong kemudian datang seorang pria bertubuh kekar dan gelap yang kemudian mereka menari-nari dan diakhiri dengan memukul gong. Memukul gong itu sebagai pembukaan acara dan juga untuk memulai pada cerita selanjutnya. Kemudian Ibu Jalu yang datang dengan lagi-lagi memukul gong merupakan pembukaan pada cerita yang akan dikisahkan lalu diakhiri pula dengan memukul gong untuk memasuki cerita selanjutnya.
Perempuan pada awal cerita yang berdiri di depan gong bisa saja disimbolkan sebagai dewi padi. Saya mengambil kesimpulan seperti ini karena kembali laki melihat isi cerita yang disampaikan. Cerita yang disampaikan adalah sebuah kegagalan panen. Dan juga pada cerita terdapat monolog yang kurang lebih berbunyi “gagal panen lagi, apa masih kurang sesajen yang kita berikan?”. Melihat isi cerita juga monolog yang diucapkan salah seorang pemain membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa perempuan yang berdiri di depan gong pada mula cerita adalah dewi pada.
Pesan dari penggunaan sistem pertanian tradisional yang dilakukan ada adanya gotong royong dan saling berbagi sebagai ciri adat tradisional. Garis bawahi “adat tradisional”. Adat tradisional yang dilakukan masih sangat kental sehingga orang yang berada dalam kurungan ayam tersebut merupakan simbol dari masih terkungkunya adat-adat yang ada di masyarakat itu. Pengembangan pertanian masih terpaku pada pemberian sesajen kepada dewa dewi serta pertanian dengan sistem tradisional. Sementara semangka sendiri merupakan simbol dari hasil pertanian yang belum jadi, masih dalam proses yang belum bisa diambil hasilnya.
Lihat pula pada perdebatan percakapan antara Jalu dan Mr. Rambut Jagung yang saling membanggakan sistem pertanian masing-masing. Jalu dengan sistem tradisionalnya sementara Mr. Rambut Jagung dengan sistem pertanian modernnya. Di tengah-tengah perdebatan itu, orang yang berada dalam kurungan ayam ikut bicara (bicara yang seolah-olah suara dari hasil pertanian) mengenai selalu gagalnya sistem pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat desa. Suara itu lebih terdengar sebagai bentuk protes yang diutarakan karena kegagalan yang berkali-kali terjadi pada sistem tradisional yang diterapkan. Jika Jalu membanggakan sistem yang dilakukannya bersama masyarakat desa yang lainnya, suara itu dengan cepat menimpali dan menyanggah setiap pernyataan yang diutarakan Jalu.
Kebalikan dari di atas, terbukanya kurungan ayam pada cerita selanjutnya merupakan simbol dari hasil pertanian yang sudah bisa dituai. Sayangnya, hasil pertanian yang selama ini ditunggu-tunggu malah tidak memuaskan. Banyak petani yang gagal panen, sehingga hasil pertanian bagus yang dapat diambil hanya sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat yang ada. Semangka yang dipecahkan dan dimakan beramai-ramai adalah penggambaran kelaparan yang terjadi akibat gagal panen tersebut.
Simbol terakhir, yaitu cangkul. Cangkul merupakan alat yang akrab digunakan petani untuk mencangkul tanah. Kemudian dari setiap cangkulan itu akan ditanam berbagai macam sayuran, buahan, padi dan lainnya. Dan setiap yang ditanam di tanah cangkul itupun terselip harapan. Sebuah cangkul merupakan pengharapan dalam hidup petani. Merupakan ketergantungan petani dalam hidupnya. Sekalipun gagal, petani-petani tidak pernah putus asa untuk tetap mencoba lagi. Dapat dilihat pula pada akhir teater salah seorang pemain mengangkat cangkul sambil berkata “sebuah mata cangkul memberikan pengharapan dalam hidupku.”
Mata cangkul yang merupakan tonggak kehidupan para petani di desa dengan tidak pernah berhenti untuk terus mencoba kembali sekaligus merupakan kesimpulan dari teater Nebeuh itu.
Maka sekianlah analisis saya mengenai simbol-simbol yang ada pada teater Nabeuh karya Dede Muchlis, S.E di atas.

0 komentar:

Posting Komentar