coba klik deh :)

Bisnis pulsa murah nih

cari-cari bisnis pulsa murah, eh nemu ini, buka deh. pelajari n daftar segera :) Pulsa Murah

Jumat, 13 April 2012

Sastra Bandingan


“Film dan Novel” Satu Judul Dua Cerita
(analisis perbandingan cerita dalam film dan novel Biola Tak Berdawai)


Pengadaptasian novel ke film atau sebaliknya selalu menimbulkan perbedaan karena berbedanya kedua media yang digunakan. Terkadang mengundang rasa kecewa pembaca dan penulis karena berbedanya daya imajinasi yang ditangkap dari novel ketika novel itu dijadikan sebuah film. Jika ekranisasi adalah film yang diadaptasi dari novel maka novel yang diadaptasi dari film disebut novelisasi film.
Pengekranisasian biasanya dilakukan karena novel yang sudah terkenal di kalangan masyarakat dan untuk membantu nilai komersial. Tidak jauh berbeda menurut saya, novelisasi film juga dilakukan karena memboomingnya film itu di masyarakat dan disukai penonton. Sebagai contoh, novel 30 Hari Mencari Cinta dinovelkan oleh Rianti Yusuf dan Biola Tak Berdawai dinovelkan oleh Seno Gumira Ajidarma.
            Film Biola Tak Berdawai (2002) yang disutradarai Sekar Ayu Asmara diproduksi oleh PT Kalyana Shira Film. Film ini mulai dinovelkan oleh Seno Gumira Ajidarma pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh penerbit akur. Novel dengan banyak menggunakan simbol, seperti kupu-kupu, lilin, kerang, membuat novel ini menarik. Bahasa yang digunakan juga indah layaknya puisi yang berima sama pada akhir bunyinya. Dan cara penyampaian yang unik membuat novel ini tidak membosankan.
Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang sebagai Dewa, menurut saya merupakan hal yang menarik. Dewa yang seorang tunadaksa dan yang tidak bisa melakukan apa-apa difilmnya dipilih sebagai tokoh utama yang serba tahu dalam novelnya. Menempatkan diri sebagai Dewa, anak tunadaksa, yang seolah-olah menyuarakan kata hatinya, bukan sebagai Renjani atau tokoh lainnya adalah keunikan. Dengan piawai Seno memerankan perannya seolah-olah seorang tunadaksa yang tahu segalanya, tunadaksa dengan segala dunianya.
Karena film dan novel adalah dua media yang berbeda maka terdapat perbedaan pula dalam film dan novel Biola Tak Berdawai. Ada penambahan-penambahan yang terjadi pada novel seperti terdapatnya kisah Mahabharata dan cerita Lorojonggrang. Namun selain adanya perbedaan dalam hal penambahan cerita dalam novel, terdapat pula persamaan antara keduanya. Berikut persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam film dan novel Biola Tak Berdawai.
Cerita pewayangan pada novel tidak divisualkan dalam film. cerita mengenai Drupadi, Pandawa dan Kurawa, Bhisma, Sangkuni, Karna, hingga kisah Lorojonggrang. Cerita pewayangan yang dihadirkan dalam novel menjadi ilmu tambahan kemanusiaan dan sebagai pembanding tokoh yang ada dalam film dan pewayangan.
Pada awal film, diawali dengan seseorang yang bermain kartu tarot dan membuka kartu death pada durasi 00: 03: 46 sampai 00: 04: 16. Sementara pada novelnya dibuka dengan prolog sebagai berikut:
Tanpa dawai, bagaimanakah biola bersuara? Biola bagaikan tubuh dan suara itulah jiwanya-tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? (Ajidarma, 2004: 1)
Setelah itu pembaca terus diajak membaca dan mendengar penuturan Dewa tentang perbandingan fisik anak tunadaksa.
            Tapi tetap saja ada persamaan antara keduanya, yaitu ketika Renjani dan Mba Wid merasa sedih dengan kematian yang setiap hari walaupun kejadian seperti itu sudah sering mereka alami. Setelah persamaan itu terjadi pula perbedaan selanjutnya. Dalam novel, ada seorang tokoh bernama Pak Kliwon yang diceritakan menemukan seorang bayi. Pernyataan itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
Pak Kliwon, seorang tua yang biasa menjadi penjaga malam, kadang-kadang memergoki mereka yang meletakkan bayi itu, tetapi ibuku sudah berpesan agar mereka tidak diganggu. (Ajidarma, 2004: 25)
Namun dalam film keterangan seperti ini tidak divisualkan.
            Kemudian ada pula persamaan dan perbedaan di antara keduanya yaitu ketika Renjani mengajak Dewa berjalan di persawahan. Di situ Renjani menangkap kupu-kupu dan bertutur tentang metamorfosis. Tetapi perbedaannya itu ketika diceritakan dalam novel bahwa Renjani suka bernyanyi sendiri tentamg kupu-kupu sementara di film bagian tuturan ini tidak ada.
            Ada pula yang mengisahkan sebab keberadaan Mba Wid di Rumah Asuh Ibu Sejati itu yakni karena keinginannya menebus dosa-dosa ibunya. Dalam film dengan menggunakan alur mundur diceritakan bahwa ibu Mba Wid adalah pelacur. Mba Wid memegang kisah Mahabharata ketika ibunya dan laki-laki itu di kamar. Dalam film, hanya diceritakan melalui dialog saja dan tidak disebutkan dari mana asal usul buku itu. Sedangkan pada novel sebab Mba Wid memiliki buku itu diceritakan, seperti penggalan berikut ini:
“Tanpa kusadari Mahabharata masuk ke dalam darahku dan meskipun banyak lagi pengetahuan kudapatkan dalam hidupku, Mahabharata menjadi perbandingan di bawah sadarku dalam menghadapi sesuatu......” (Ajidarma, 2004: 63)           
            Ada lagi persamaan selanjutnya yaitu ketika Dewa menengadahkan kepalanya ketika ia melihat Renjani menari ballet. Adegan ini menjadi sangat penting karena berawal dari sinilah Renjani berniat melakukan terapi musik kepada Dewa yang membuatnya bertemu Bhisma.
            Selain itu dalam film divisualkan ketika Renjani dan Dewa mendengar permainan biola Bhisma melalui telepon. Namun dalam novel kejadian ini merupakan sebuah kilas balik ketika Renjani hendak menghanyutkan kotak masa lalunya. Selanjutnya dalam film ditayangkan adegan Renjani membuang kotak masa lalunya yang berisi sepatu ballet. Tetapi ketika dalam novel hal itu diberi penambahan berupa dialog orang yang menemukan sepatu ballet.
“Lihat ada sepatu ballet.”
“Bagaimana sepatu ballet itu sampai di sini?”
“Jatuh dari kapal barangkali!”
.... ( Ajidarma, 2004: 145)
            Setelah itu tidak diceritakan kembali kelanjutannya hingga diketahui Renjani meninggal melalui tuturan Mba Wid. Pada akhir cerita film, setelah Bhisma mengetahui kematian Renjani, Bhisma mengajak Dewa ke mengunjungi kuburan Renjani. Tanpa disangka ketika itu Dewa bisa bicara dan mengucapkan kalimat “Dewa sayang Ibu”. Setelah adegan itu maka berakhirlah film Biola Tak Berdawai. Tetapi berbeda pada novelnya. Dalam novel setelah kejadian itu diceritakan lagi bagaimana keadaan Rumah Asuh Ibu Sejati tanpa Renjani dan kesendirian Dewa tanpa Renjani.
            Dalam cerita novel maupun film terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan itu menyangkut penambahan ataupun penghilangan pada beberapa bagian cerita. Tapi walau terdapat perbedaan tidak mengubah makna yang ingin disampaiakan. Demikianlah analisis saya mengenai perbandingan cerita dalam film dan novel Biola Tak Berdawai.

0 komentar:

Posting Komentar