Cinta Terlarang Dalam Kisah
Sangkuriang dan Watu Gunung
Cinta
ternyata tidak hanya timbul kepada sesama jenis maupun lawan jenis yang tidak
mempunyai hubungan darah, bahkan juga kepada yang mempunyai pertalian darah.
Ayah yang mencintai anak perempuannya. Anak laki-laki yang mencintai ibu
kandungnya. Kakak yang mencintai adiknya. Namun cinta dalam hal ini bukan hanya
sekedar cinta sebagai keluarga melainkan cinta yang ingin memiliki.
Di dalam Islam dikenal adanya fiqih yaitu konsep muhrim
yang mengatur hubungan sosial antara individu
yang masih kerabat atau adanya hubungan darah. Ada sebuah artikel yang saya baca mengenai muhrim dan
hubungan percintaan yang dilarang dalam Islam. Berikut artikel yang saya baca.
Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih
termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan
perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Penggunaan kata muhrim untuk mahram perlu
dicermati. Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram
(haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti
semakna dengan mahram (haram dinikahi).
Mahram
sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Alloh berfirman:
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
(1) ibu-ibumu; (2) anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-saudaramu yang
perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5)saudara-saudara ibumu
yang perempuan; (6)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
(7) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS An Nisa: 23) (Zuhudi, “MAHRAM (atau Muhrim???), Apakah itu?”, 29 Maret
2010, http://zuhud.wordpress.com/2010/03/29/mahram-atau-muhrim-apakah-itu/), (16 April 2011)
Bagi seseorang tidak diperbolehkan menjalin percintaan bahkan perkawinan dengan orang
tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat),
saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu. Tidak hanya Islam
saja yang mengenal hubungan seperti itu. Folklor di Indonesia pun juga mengenal
hubungan percintaan sedarah. Contohnya saja pada
cerita Sangkuring dan ibunya sendiri (Dayang Sumbi) di masyarakat Sunda dan Prabu
Watugunung dan ibunya (Sinta) yang menghasilkan 27 anak
Pada cerita
Sangkuriang, percintaan hubungan sedarah itu terjadi antara Sangkuriang dan
Ibunya (Dayang Sumbi). Cerita ini berawal ketika Dayang Sumbi mengusir
Sangkuriang sewaktu kecil karena dia telah membunuh anjing yang bernama Tumang.
Ternyata Tumang itu adalah ayahnya sendiri. Setelah Sangkuriang dewasa, dia
bertemu lagi dengan ibunya tetapi Sangkuriang tidak sadar bahwa Dayang Sumbi
adalah ibu kandungnya. Akhirnya mereka pun jatuh cinta dan Sangkuriang melamar
Dayang Sumbi. Tapi pada akhirnya, Dayang Sumbi menyadari bahwa ternyata Sangkuriang
adalah anak kandungnya. Dayang Sumbi ingin menolak lamaran Sangkuriang dengan
mengajukan sebuah syarat yaitu Sangkuriang harus membuat danau dan perahu dalam
waktu satu malam.
Ketika Sangkuriang
membuat perahu, Dayang Sumbi mencari akal untuk menggagalkan usahanya. Dayang
Sumbi mengibarkan kain putih di ufuk timur sebagai tanda bahwa fajar telah
datang. Namun, Sangkuriang tidak menerima kekalahannya. Perahu yang telah ia
buat itu ia tendang sampai terbalik dan menyerupai gunung sehingga kisah ini
dipercaya masyarakat sebagai asal Gunung Tangkuban Perahu.
Ada pula kisah Watu
Gunung dari Jawa Tengah. Kisah ini bermula ketika Sinta mempunyai seorang anak
laki-laki bernama Watu Gunung yang mempunyai nafsu makan yang besar. Ketika
Sinta sedang menanak nasi, Watu Gunung menangis. Dan dengan perasaan kesal
Sinta memukul kepala Watu Gunung dengan sendok nasi yang mengakibatkan Watu Gunung
pergi dari rumah.
Lama Watu Gunung
menghilang akhirnya dia kembali untuk merebut kerajaan Giling Weis dan
memperistri Sinta yang ternyata ibu kandungnya sendiri dan mempunyai 27 anak.
Sinta tahu kenyataan bahwa Watu Gunung adalah anaknya ketika dia melihat bekas
luka di kepala Watu Gunung. Untuk menutupi aibnya Sinta meminta Watu Gunung
untuk memperistri dewi kahyangan yang berarti anak dari Bhatara Wisnu. Bhatar
Wisnu marah dan terjadilah pertempuran sehingga Watu Gunung tewas. Landep, Watu
Gunung, Sinta dan ke-27 anaknya oleh masyarakat Jawa dipercaya sebagai asal
muasal wuku.
Dari kedua narasi di
atas dapat dilihat adanya kesamaan dari segi cerita dan tema. Tema yang
diangkat adalah masalah cinta terlarang yang terjadi antara anak dan ibu
kandung. Sangkuriang dan Prabu Watu Gunung sama-sama menceritakan tentang seorang anak lelaki yang mencintai ibu
kandungnya sendiri. Kedua cerita itu juga tidak
lepas dari adanya imajinasi tentang khayangan
dan kesaktian.
Kedua tokoh utama dalam cerita tersebut sama-sama mencintai ibu kandungnya
karena ketidaktahuan mereka. Cerita-cerita rakyat seperti ini
selalu dikaitkan dengan asal-muasal suatu hal yang ada dalam
kepercayaan daerah masing-masing.
Walau begitu terdapat juga
perbedaan dalam kedua cerita tersebut. Perbedaan terletak pada jalan kisah percintaan antara anak dan ibu kandungnya.
Sangkuriang jatuh cinta kepada Dayang Sumbi tapi mereka
tidak sampai menikah. Namun dalam cerita Watu Gunung, Prabu Watu
Gunung yang jatuh cinta pada Sinta akhirnya menikah dengan Sinta yang merupakan ibu kandungnya sendiri hingga memiliki 27
orang anak.




0 komentar:
Posting Komentar